Awal 2014 masyarakat Indonesia, termasuk warga Jateng, memasuki era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Badan hukum publik (bukan persero) itu akan menangani program jaminan sosial tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Institusi itu terbagi dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Tahun depan yang diterapkan dulu adalah BPJS Kesehatan. Nantinya semua warga Jateng, sebagaimana warga provinsi lain, secara bertahap diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan. Pada awal tahun, yang otomatis dialihkan jadi peserta adalah mereka yang sudah eksis, dalam arti saat ini sudah ada, dan dikelola oleh PTAskes. Mereka terdiri atas peserta askes sosial, seperti PNS/ pensiunan PNS, purnawirawan anggota TNI/Polri, anggota LVRI, dan perintis kemerdekaan, ditambah anggota TNI/Polri, peserta Jamsostek dan Jamkesmas. Awal 2014, peserta BPJS Kesehatan diperkirakan 121 juta orang, dan berangsur mencapai cakupan semesta (seluruh penduduk ) pada 2019. Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menyambut baik program pemerintah itu. Data per 6 Oktober 2013, di Indonesia ada 1.284 rumah sakit swasta, terdiri atas 720 rumah sakit swasta nonprofit dan 564 rumah sakit swasta for-profit, semuanya 58,79% dari jumlah seluruh rumah sakit di Indonesia. Peningkatan jumlah rumah sakit swasta dibanding data per 1 Januari 2012 mencapai 391 unit karena jumlah pada 2012 baru 893 unit. Dari data tersebut, dapat disimpulkan pertumbuhan rumah sakit swasta (43,7%) jauh lebih besar ketimbang pertumbuhan rumah sakit pemerintah (11,5%). Mendasarkan data itu, dan urgensi mendukung program pemerintah, sangat realistis bila rumah sakit swasta di Jateng turut berperan serta secara aktif menyukseskan jaminan kesehatan nasional. Keterlibatan itu bisa dengan menjadi provider. Rumah sakit swasta tidak diwajibkan menjadi provider namun pemerintah perlu mempertimbangkan perannya. Sebagai organisasi profesi, ARSSI merekomendasikan beberapa hal kepada BPJS Kesehatan di Jateng sebagai pelaksana sistem itu. Pertama; lebih intensif menyosialisasikan implementasi sistem jaminan kesehatan itu ke rumah sakit di pelosok/daerah. Sosialisasi itu dilakukan baik kepada pemilik rumah sakit, maupun manajemen, dokter, dan karyawan. Kedua; sebagian besar dokter rumah sakit swasta adalah dokter tamu, karena itu rumah sakit swasta sebaiknya dibayar secara layak sehingga cukup untuk menjaga mutu pelayanan. Termasuk membayar jasa profesi secara layak, pengembalian investasi dan memberi sisa hasil usaha. Bila hal itu tidak dilakukan, kelangsungan investasi rumah sakit swasta bisa terancam. Tarif Wajar Ketiga; mengefisiensikan biaya pelayanan kesehatan. Keempat; melengkapi rumah sakit swasta dengan sarana dan prasarana, seperti clinical pathway sebagai acuan dalam memberikan pelayanan, serta menstandardisasikan penggunaan alat dan obat, termasuk mendisiplinkan penggunaannya. Kelima; bila ada ketidaksepakatan terkait dengan tarif Indonesia case based group (Ina CBG), harus ada perhitungan lagi unit cost rumah sakit swasta. Tentunya, permintaan data itu dan waktu pelatihan mengisi formulir tidak mepet. Seandainya ingin mengelompokkan tarif berdasar kelas rumah sakit, seyogianya perbedaan tarif antarkelas tidak jauh berbeda. Keenam; menentukan tarif pelayanan yang lebih akomodatif. Merujuk Pasal 49 UU Nomor 44 Tahun 2009, Menkes dapat menentukan pola tarif rumah sakit, adapun gubernur menetapkan tarif maksimal. Ketujuh; pemerintah lebih bijak menentukan tarif, jangan sampai rumah sakit ditekan harus berbiaya murah tapi memberi pelayanan maksimal. Ada tiga variabel yang berkelindan bila kita berbicara pelayanan rumah sakit, yakni akses, mutu, dan biaya. Kita tidak bisa menekan salah satunya. Artinya akses dibuka lebar, mutu harus tinggi, namun mustahil dilakukan dengan biaya rendah. Harapannya, pemerintah bisa menentukan tarif wajar. (10) Sumber : http://www.suaramerdeka.com/

0 Response to "BPJS"